2.1.Kepuasan Kerja
2.1.1. Pengertian Kepuasan Kerja
Brayfield,
et al. (1951) dalam Panggabean
(2004:128) adalah orang pertama yang memberikan pemahaman tentang konsep
kepuasan kerja. Brayfield, et al.
beranggapan bahwa kepuasan kerja dapat diduga dari sikap seseorang terhadap
pekerjaan. Kemudian, Moorse (1953) dalam Panggabean (2004:128) mengemukakan
bahwa pada dasar dari kepuasan kerja tergantung kepada apa yang diinginkan
seseorang dari pekerjaan tersebut dan apa yang diperoleh. pegawai yang paling
tidak merasa puas adalah pegawai yang mempunyai keinginan paling banyak, namun
mendapat yang paling sedikit. Sedangkan yang paling merasa puas adalah pegawai
yang menginginkan banyak dan mendapatkan hasil yang sesuai. Davis (1859) dalam
Mangkunegara (2007:117) mengemukakan bahwa "job satiffaction is the favor ableness or unfavorableness with employee
view their work" (kepuasan kerja adalah perasaan menyokong atau tidak
menyokong yang dialami pegawai dalam bekerja). Robbins (2003) dalam (http://www.pps.unud.ac.id/thesis/ pdf_thesis/unud-312-babii.pdf.
diakses tanggal (20/09/2013) mendefinisikan
kepuasan kerja sebagai suatu sikap umum terhadap pekerjaan seseorang,
selisih antara seberapa banyak ganjaran yang diterima seorang pekerja dan
seberapa banyak yang diyakini haruslah diterima. Wexley dan Yukl (1977) dalam Mangkunegara (2007:117)
mendefinisikan kepuasan kerja "is
the way an employee feels about is his or her job" (adalah cara
pegawai merasakan diri sendiri atau pekerjaan tersebut) Handoko (1992) dalam Sutrisno (2010:75), mengemukakan kepuasan
kerja adalah keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan bagi
para pegawai memandang pekerjaan. Kepuasan kerja mencerminkan perasaan
seseorang terhadap pekerjaan. Hal ini tampak dalam sikap positif pegawai
terhadap pekerjaan dan segala sesuatu yang dihadapi di lingkungan kerja.
Dari
definisi-definisi para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja (job satisfaction) adalah keadaan
emosional atau respon afektif seseorang terhadap berbagai situasi dan kondisi
kerja yang dapat memenuhi segala yang berkaitan dengan kebutuhan, keinginan dan
harapan yang dihadapi bagi para pegawai dalam memandang pekerjaan tersebut.
2.1.2.
Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja
Brown,
et al. (1950) dalam Sutrisno
(2010:79) mengatakan bahwa ada empat faktor yang menimbulkan kepuasan kerja,
yaitu :
1.
Kedudukan.
Secara umum, manusia beranggapan bahwa
seseorang yang bekerja pada pekerjaan yang lebih tinggi akan merasa lebih puas
daripada orang yang bekerja pada pekerjaan yang lebih rendah. Pada beberapa
penelitian menunjukkan bahwa hal tersebut tidak selalu benar, tetapi justru
perubahan dalam tingkat pekerjaanlah yang mempengaruhi kepuasan kerja.
2.
Pangkat.
Pada pekerjaan yang mendasarkan
perbedaan tingkat atau golongan, sehingga pekerjaan tersebut memberikan
kedudukan tertentu pada orang yang melakukannya. Apabila ada kenaikan upah,
maka sedikit banyaknya akan dianggap sebagai kenaikan pangkat, dan kebanggaan
terhadap kedudukan yang baru itu akan mengubah perilaku dan perasaan pegawai
tersebut.
3.
Jaminan
finansial dan sosial.
Finansial dan jaminan sosial
kebanyakan berpengaruh terhadap kepuasan kerja pegawai.
4.
Mutu
pengawasan.
Hubungan antara pegawai dengan pihak
pimpinan sangat penting artinya dalam menaikkan produktivitas kerja. Kepuasan
dapat ditingkatkan melalui perhatian dan hubungan yang baik dari pimpinan
kepada bawahan, sehingga pegawai akan merasa bahwa dirinya merupakan bagian
yang penting dari organisasi kerja.
Dalam
kaitannya dengan faktor-faktor penentu kepuasan kerja Rousseau (1978) dan
Glison dan Durick (1988) dalam Panggabean (2004:129) mengemukakan bahwa
variabel-variabel tersebut dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok, yaitu :
karakteristik pekerjaan, karakteristik organisasi, dan karakteristik individu.
1. Karakteristik pekerjaan terdiri atas
keanekaragaman keterampilan (skill
variety), identitas tugas (task
identity), keberartian tugas (task
signifcance), otonomi (autonomy), dan
umpan balik pekerjaan (feedback). Hackman
dan Oldham (1975) dalam Panggabean (2004:129) menyatakan karakteristik
pekerjaan mempengaruhi tingkat motivasi, kinerja pegawai, kepuasan kerja,
tingkat absensi, dan tingkat perputaran kerja.
2. Karakteristik organisasi mencakup
skala usaha, kompleksitas, formalisasi, sentralisasi, jumlah anggota kelompok,
anggaran anggota kelompok, lamanya individu beroperasi, usia kelompok kerja,
dan kepemimpinan.
3.
Karakteristik
individu terdiri atas jenis kelamin, tingkat pendidikan, usia, masa kerja,
status perkawinan, dan jumlah tanggungan.
2.1.3.
Dimensi
dan Indikator Kepuasan Kerja
Hackman dan
Oldman (1975) dalam Panggabean (2004:132), mengemukakan bahwa kepuasan kerja
berkaitan dengan lima dimensi inti dari karakteristik pekerjaan, yaitu :
keanekaragaman keterampilan (skill
variety), identitas tugas (task
identity), keberartian tugas (task
signifcance), otonomi (autonomy), dan
umpan balik pekerjaan (feedback).
Robbins
(2003) dalam http://syamsuddincoy.blogspot.com/2012/02/
normal-0-false-false-false-en-us-x-none_22.html.
diakses tanggal (20/09/2013), mengatakan bahwa faktor yang menentukan kepuasan
pegawai adalah :
1.
Kerja
yang Secara Mental Menantang.
Pegawai cenderung lebih menyukai
pekerjaan-pekerjaan yang memberi kesempatan untuk mengunakan keterampilan dan
kemampuan yang masih dimiliki, menawarkan beragam tugas, kebebasan dan umpan
balik untuk betapa baik pegawai tersebut bekerja. Karakteristik ini membuat
kerja secara mental menantang. Pekerjaan yang kurang menantang menciptakan
kebosanan, tetapi yang terlalu banyak menantang menciptakan frustasi dan
perasaan gagal. Pada kondisi yang sedang, kebanyakan pegawai mengalami
kesenangan dan kepuasan.
2.
Imbalan
yang Pantas.
Para pegawai menginginkan sistem upah
dan kebijakan promosi yang pegawai persepsikan sebagai adil, tidak meragukan
dan segaris dengan pengharapan para pegawai. Bila upah dilihat sebagai adil
yang didasarkan pada tuntutan pekerjaan, tingkat keterampilan individu, dan
standar pengupahan komunitas kemungkinan besar akan dihasilkan kepuasan.
3.
Kondisi
Kerja yang Mendukung.
Pegawai peduli akan lingkungan kerja
baik untuk kenyamanan pribadi maupun untuk memudahkan pegawai dalam mengerjakan
tugas dengan baik.
4.
Rekan
Kerja yang Mendukung.
Bagi kebanyakan pegawai, kerja juga
mengisi kebutuhan akan interaksi sosial. Oleh karena itu, tidak mengejutkan
bila mempunyai rekan sekerja yang ramah dan mendukung menghantar ke kepuasan
kerja yang meningkat. Perilaku atasan juga merupakan determinan utama dari
kepuasan. Secara umum, kepuasan kerja pegawai meningkat jika penyelia langsung
berikap ramah dan dapat memahami, memberikan pujian untuk kinerja yang baik,
mendengarkan pendapat pegawai dan menunjukkan suatu minat pribadi pada para
pegawai.
5.
Kesesuaian
Pribadi dengan Pekerjaan.
Pada hakekatnya adalah orang-orang
yang tipe kepribadiannya kongkruen (sama dan sebangun) dengan pekerjaan yang
para pegawai pilih sebisanya akan menunjukkan bahwa pegawai tersebut memiliki
bakat dan kemampuan yang tepat untuk memenuhi tuntutan dari pekerjaan pegawai
tersebut.
Luthans
(2005) dalam http://www.pps.unud.ac.id/thesis/pdfthesis/unud-312-babii.pdf. diakses
tanggal (20/09/2013) menjelaskan faktor-faktor
utama yang mempengaruhi kepuasan kerja seperti diuraikan berikut ini :
1. Pekerjaan itu sendiri
Yang termasuk pekerjaan yang memberikan kepuasan
adalah pekerjaan yang menarik dan menantang, pekerjaan yang tidak membosankan,
serta pekerjaan yang dapat memberikan status.
2. Upah/gaji
Upah dan gaji merupakan hal yang signifikan, namun
merupakan faktor yang kompleks dan multidimensi dalam kepuasan kerja.
3. Promosi
Kesempatan dipromosikan nampaknya memiliki pengaruh
yang beragam terhadap kepuasan kerja, karena promosi bisa dalam bentuk yang
berbeda- beda dan bervariasi pula imbalannya.
4. Supervisi
Supervisi merupakan sumber kepuasan kerja lainnya yang
cukup penting pula.
2.1.4.
Aspek-aspek
Kepuasan Kerja
Berkaitan
dengan aspek-aspek kepuasan kerja yang relevan, secara khusus, Kreitner dan
Kinicki (1998) dalam Panggabean (2004:129) mengemukakan bahwa aspek-aspek
kepuasan kerja yang relevan terdiri atas kepuasan terhadap pekerjaan, gaji,
promosi, rekan kerja dan penyelia. Sementara itu, Blau (1998) dalam Panggabean
(2004:129) mengemukakan bahwa selain terhadap hal-hal tersebut diatas, kepuasan
kerja juga relevan terhadap penilaian prestasi.
2.1.5. Variabel-variabel Kepuasan Kerja
Davis (1985) dalam Mangkunegara
(2007:117-119) menjelaskan bahwa kepuasan kerja berhubungan dengan
variabel-variabel seperti
1.
Turnover
Kepuasan
kerja lebih tinggi dihubungkan dengan turnover pegawai yang rendah, sedangkan
pegawai-pegawai yang kurang puas biasanya turnovernya lebih tinggi.
2.
Tingkat
Ketidakhadiran (Absen) Kerja
Para
pegawai yang kurang puas cenderung tingkat ketidakhadiran tinggi. Pegawai
sering tidak hadir kerja dengan alasan yang tidak logis dan subjektif.
3.
Umur
Ada
kecenderungan pegawai yang tua lebih merasa puas daripada pegawai yang berumur
relatif muda. Hal ini diasumsikan bahwa pegawai yang lebih tua lebih
berpengalaman menyesuaikan diri dengan lingkungan pekerjaan, sedangkan pegawai
usia muda biasanya mempunyai harapan yang ideal tentang dunia kerja pegawai,
sehingga apabila antara harapan pegawai dengan realita kerja terdapat
kesenjangan atau ketidakseimbangan dapat menyebabkan mereka menjadi tidak puas.
4.
Tingkat
Pekerjaan
Para
pegawai yang menduduki tingkat pekerjaan yang lebih tnggi cenderung lebih puas
daripada pegawai yang menduduki tingkat pekerjaan yang lebih rendah. Para
pegawai yang tingkat pekerjaan lebih tinggi menunjukkan kemampuan kerja yang
baik dan aktif dalam mengemukakan ide-ide serta kreatif dalam bekerja.
5.
Ukuran
Organisasi Instansi
Ukuran
organisasi instansi dapat mempengaruhi kepuasan pegawai. Hal ini karena besar
kecilnya suatu instansi berhubungan pula dengan koordinasi, komunikasi, dan
partisipasi pegawai.
2.1.6. Meningkatkan Kepuasan Kerja
Menurut Riggio (2005)
dalam http://eprints.uny.ac.id/7518/3/BAB%202-09409131010.pdf. diakses tanggal (30/09/2013)
menyatakan peningkatan kepuasan kerja dapat dilakukan dengan cara sebagai
berikut:
1.
Melakukan
perubahan struktur kerja, misalnya dengan melakukan perputaran pekerjaan (job
rotation), yaitu sebuah sistem perubahan pekerjaan dari salah satu tipe
tugas ke tugas yang lainnya (yang disesuaikan dengan job description).
Cara kedua yang harus dilakukan adalah dengan pemekaran (job enlargement),
atau perluasan satu pekerjaan sebagai tambahan dan bermacam-macam tugas
pekerjaan. Praktik untuk para pegawai yang menerima tugas-tugas tambahan dan
bervariasi dalam usaha untuk membuat pegawai merasakan bahwa pegawai tersebut
adalah lebih dari sekedar anggota dari organisasi.
2.
Melakukan
perubahan struktur pembayaran, perubahan sistem pembayaran ini dilakukan dengan
berdasarkan pada keahlian (skill-based
pay), yaitu pembayaran di mana para pegawai digaji berdasarkan pengetahuan
dan keterampilan daripada posisi pegawai tersebut di instansi. Pembayaran kedua
dilakukan berdasarkan jasa (merit pay), sistem pembayaran di mana
pegawai digaji berdasarkan kinerja, pencapaian finansial pegawai berdasarkan
pada hasil yang dicapai oleh individu itu sendiri. Pembayaran yang ketiga
adalah Gainsharing atau pembayaran berdasarkan pada keberhasilan
kelompok (keuntungan dibagi kepada seluruh anggota kelompok).
3.
Pemberian
jadwal kerja yang fleksibel, dengan memberikan kontrol pada para pegawai
mengenai pekerjaan sehari-hari, yang sangat penting untuk yang bekerja di
daerah padat, di mana pegawai tidak bisa bekerja tepat waktu atau untuk yang
mempunyai tanggung jawab pada anak-anak. Compressed work week (pekerjaan
mingguan yang dipadatkan), di mana jumlah pekerjaan per hari dikurangi sedang
jumlah jam pekerjaan per hari ditingkatkan. Para pegawai dapat memadatkan
pekerjaannya yang hanya dilakukan dari hari Senin hingga Jum’at, sehingga
pegawai dapat memiliki waktu longgar untuk liburan. Cara yang kedua adalah
dengan sistem penjadwalan di mana seorang pegawai menjalankan sejumlah jam
khusus per minggu (Flextime), tetapi tetap mempunyai fleksibilitas kapan
mulai dan mengakhiri pekerjaannya.
4.
Mengadakan
program yang mendukung, perusahaan mengadakan program-program yang dirasakan
dapat meningkatkan kepuasan kerja para pegawai seperti; health center, profit
sharing, dan employee sponsored child care.
2.1.7.
Teori-teori
Kepuasan Kerja
Wexley
dan Yuki (1987) dalam Sunyoto
(2012:211) mengatakan bahwa teori kepuasan kerja ada tiga macam yang lazim
dikenal, yaitu :
1. Discrepancy
theory
Teori ini pertama kali dipelopori oleh
Porter (1961) dalam Sunyoto (2012:211). Porter mengukur kepuasan kerja
seseorang dengan menghitung selisih antara apa yang seharusnya dengan kenyataan
yang dirasakan. Kemudian Locke (1969) dalam Sunyoto (2012:211) menerangkan
bahwa kerja seseorang tergantung pada discrepancy
antara should be (expectation needs
or value) dengan apa yang menurut perasaan atau persepsi pegawai telah
diperoleh melalui pekerjaan. Menurut penelitian yang dilakukan Wanous dan Lawer
yang dikutip dari Wexley dan Yukl dalam Sunyoto (2012:211), menemukan bahwa
sikap pegawai terhadap pekerjaan tergantung bagaimana discrepancy itu dirasakan.
2. Equity
theory
Dikembangkan oleh Adam (1963),
pendahulu dari teori ini adalah Zalzenik tahun 1958 yang dikutip dari Locke
(1969) dalam Sunyoto (2012:211). Prinsip teori ini adalah bahwa orang akan
merasa puas dan tidak puas, tergantung apakah orang tersebut merasakan adanya
keadilan (equity). Perasaan equity dan inequity atas situasi, diperoleh orang dengan cara membandingkan
diri sendiri dengan orang lain yang sekelas, sekantor, dan pemerintah
dipengaruhi oleh motivasi.
3. Two
factor theory
Prinsip teori ini bahwa kepuasan kerja
dan tidak kepuasan kerja merupakan dua hal yang berbeda, artinya kepuasan dan
ketidakpuasan terhadap pekerjaan tidak merupakan variabel kontinyu. Teori ini
pertama kali ditemukan oleh Herzberg (1959) dalam Sunyoto (2012:211) dan
membagi situasi yang mempengaruhi sikap seseorang terhadap pekerjaan menjadi
dua kelompok, yaitu :
a.
Satisfiers atau motivator adalah situasi yang
membuktikannya sebagai sumber kepuasan kerja, yang terdiri dari achievement, recognition, work itself,
responsibility and advencement.
b.
Dissatisfiers adalah faktor-faktor yang terbukti
menjadi sumber ketidakpuasan yang terdiri dari company police and administration, supervision, technical, salary, interpersonal,
relation, working condition, job security and statues.
Menurut
teori ini, perbaikan gaji dan kondisi kerja tidak akan mengurangi ketidakpuasan
kerja. Selanjutnya Herzberg dalam Sunyoto (2012:211) mengemukakan bahwa yang
dapat memacu orang bekerja dengan baik dan bergairah hanyalah kelompok satisfiers.
boleh minta sumbernya atau daftar pustakanya
BalasHapus