Sejarah mencatat asal mula dikenalnya kegiatan
perbankan adalah pada zaman kerajaan tempo dulu di daratan Eropa.
Kemudian usaha perbankan ini berkembang ke Asia Barat oleh para pedagang. Perkembangan perbankan di Asia,
Afrika dan Amerika]] dibawa oleh bangsa Eropa
pada saat melakukan penjajahan ke negara jajahannya baik di Asia, Afrika maupun
benua Amerika. Bila ditelusuri, sejarah dikenalnya perbankan
dimulai dari jasa penukaran uang. Sehingga dalam sejarah
perbankan, arti bank dikenal sebagai meja tempat penukaran uang. Dalam
perjalanan sejarah kerajaan tempo dulu mungkin penukaran uangnya dilakukan
antar kerajaan yang satu dnegan kerajaan yang lain. Kegiatan penukaran ini
sekarang dikenal dengan nama Pedagang Valuta Asing (Money Changer).
Kemudian dalam perkembangan selanjutnya, kegiatan operasional perbankan
berkembang lagi menjadi tempat penitipan uang atau yang disebut sekarang ini
kegiatan simpanan. Berikutnya kegiatan perbankan bertambah dengan kegiatan
peminjaman uang. Uangyang disimpan oleh masyarakat, oleh perbankan dipinjamkan
kembali kepada masyarakatyang membutuhkannya. Jasa-jasa bank lainnya menyusul
sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat yang semakin beragam.
Sejarah perbankan di Indonesia tidak terlepas
dari zaman penjajahan Hindia Belanda. Pada masa itu
terdapat beberapa bank yang memegang peranan penting di Hindia Belanda.
Bank-bank yang ada itu antara lain:
- De Javasce NV.
- De Post Poar Bank.
- De Algemenevolks Crediet Bank.
- Nederland Handles Maatscappi (NHM).
- Nationale Handles Bank (NHB).
- De Escompto Bank NV.
Di samping itu, terdapat pula bank-bank milik orang Indonesia dan
orang-orang asing seperti dari Tiongkok, Jepang, dan Eropa. Bank-bank tersebut
antara lain:
- Bank Nasional indonesia.
- Bank Abuan Saudagar.
- NV Bank Boemi.
- The Chartered Bank of India.
- The Yokohama Species Bank.
- The Matsui Bank.
- The Bank of China.
- Batavia Bank.
Di zaman kemerdekaan, perbankan di Indonesia bertambah maju dan berkembang
lagi. Beberapa bank Belanda dinasionalisir oleh pemerintah Indonesia. Bank-bank
yang ada di zaman awal kemerdekaan antara lain:
- Bank Negara Indonesia, yang didirikan tanggal 5 Juli 1946 yang sekarang dikenal dengan BNI ’46.
- Bank Rakyat Indonesia yang didirikan tanggal 22 Februari 1946. Bank ini berasal dar De Algemenevolks Crediet Bank atau Syomin Ginko.
- Bank Surakarta Maskapai Adil Makmur (MAI) tahun 1945 di Solo.
- Bank Indonesia di Palembang tahun 1946.
- Bank Dagang Nasional Indonesia tahun 1946 di Medan.
- Indonesian Banking Corporation tahun 1947 di Yogyakarta, kemudian menjadi Bank Amerta.
- NV Bank Sulawesi di Manado tahun 1946.
- Bank Dagang Indonesia NV di Samarinda tahun 1950 kemudian merger dengan Bank Pasifik.
- Bank Timur NV di Semarang berganti nama menjadi Bank Gemari. Kemudian merger dengan Bank Central Asia (BCA) tahun 1949.
Di Indonesia, praktek perbankan sudah tersebar sampai ke pelosok pedesaan.
Lembaga keuangan berbentuk bank di Indonesia berupa Bank Umum,
Bank
Perkreditan Rakyat (BPR), Bank Umum
Syari’ah, dan juga BPR Syari’ah
(BPRS).
Masing-masing bentuk lembaga bank tersebut berbeda karakteristik dan
fungsinya.
Seperti diketahu bahwa Indonesia mengenal dunia perbankan dari bekas
penjajahnya, yaitu Belanda. Oleh karena itu,
sejarah perbankanpun tidak lepas dari pengaruh negara yang menjajahnya baik
untuk bank pemerintah maupun bank swasta nasional. Berikut ini akan dijelaskan secara singkat
sejarah bank-bank milik pemerintah, yaitu:
- Bank
Sentral
Bank Sentral di Indonesia adalah Bank Indonesia (BI) berdasarkan UU No 13 Tahun 1968. Kemudian ditegaskan lagi dnegan UU No 23 Tahun 1999.Bank ini sebelumnya berasal dari De Javasche Bank yang di nasionalkan di tahun 1951. - Bank Rakyat
Indonesia dan Bank Expor Impor
Bank ini berasal dari De Algemene Volkscrediet Bank, kemudian di lebur setelah menjadi bank tunggal dengan nama Bank Nasional Indonesia (BNI) Unit II yang bergerak di bidang rural dan expor impor (exim), dipisahkan lagi menjadi:
1. Yang membidangi rural menjadi Bank Rakyat Indonesia dengan UU No 21
Tahun 1968.
2. Yang membidangi Exim dengan UU No 22 Tahun 1968 menjadi Bank Expor Impor
Indonesia.
- Bank Negara
Indonesia (BNI ’46)
Bank ini menjalani BNI Unit III dengan UU No 17 Tahun 1968 berubah menjadi Bank Negara Indonesia ’46. - Bank
Dagang Negara(BDN)
BDN berasal dari Escompto Bank yang di nasionalisasikan dengan PP No 13 Tahun 1960, namun PP (Peraturan Pemerintah) ini dicabut dengan diganti dengan UU No 18 Tahun 1968 menjadi Bank Dagang Negara. BDN merupakan satu-satunya Bank Pemerintah yangberada diluar Bank Negara Indonesia Unit. - Bank Bumi Daya (BBD)
BBD semula berasal dari Nederlandsch Indische Hendles Bank, kemudian menjadi Nationale Hendles Bank, selanjutnya bank ini menjadi Bank Negara Indonesia Unit IV dan berdasarkan UU No 19 Tahun 1968 menjadi Bank Bumi Daya. - Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo)
- Bank
Pembangunan Daerah (BPD)
Bank ini didirikan di daerah-daerah tingkat I. Dasar hukumnya adalah UU No 13 Tahun 1962. - Bank Tabungan
Negara (BTN)
BTN berasal dari De Post Paar Bank yang kemudian menjadi Bank Tabungan Pos tahun 1950. Selanjutnya menjadi Bank Negara Indonesia Unit V dan terakhir menjadi Bank Tabungan Negara dengan UU No 20 Tahun 1968. - Bank Mandiri
Bank Mandiri merupakan hasil merger antara Bank Bumi Daya (BBD), Bank Dagang Negara (BDN), Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) dan Bank Expor Impor Indonesia (Ban Exim). Hasil merger keempat bank ini dilaksanakan pada tahun 1999.
Sejarah BI
Kelembagaan
Sejarah kelembagaan Bank Indonesia dimulai
sejak berlakunya Undang-Undang (UU) No. 11/1953 tentang Penetapan Undang-Undang
Pokok Bank Indonesia pada tanggal 1 Juli 1953. Dalam melakukan tugasnya sebagai
bank sentral, Bank Indonesia dipimpin oleh Dewan Moneter, Direksi, dan Dewan
Penasehat. Di tangan Dewan Moneter inilah, kebijakan moneter ditetapkan, meski
tanggung jawabnya berada pada pemerintah. Setelah sempat dilebur ke dalam bank
tunggal, pada masa awal orde baru, landasan Bank Indonesia berubah melalui UU
No. 13/1968 tentang Bank Sentral. Sejak saat itu, Bank Indonesia berfungsi
sebagai bank sentral dan sekaligus membantu pemerintah dalam pembangunan dengan
menjalankan kebijakan yang ditetapkan pemerintah dengan bantuan Dewan Moneter.
Dengan demikian, Bank Indonesia tidak lagi dipimpin oleh Dewan Moneter. Setelah
orde baru berlalu, Bank Indonesia dapat mencapai independensinya melalui UU No.
23/1999 tentang Bank Indonesia yang kemudian diubah dengan UU No. 3/2004. Sejak
saat itu, Bank Indonesia memiliki kedudukan khusus dalam struktur kenegaraan
sebagai lembaga negara yang independen dan bebas dari campur tangan pemerintah
dan/atau pihak-pihak lain. Namun, dalam melaksanakan kebijakan moneter secara
berkelanjutan, konsisten, dan transparan, Bank Indonesia harus mempertimbangkan
pula kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian.
Moneter
Setelah berdirinya Bank Indonesia,
kebijakan moneter di Indonesia secara umum ditetapkan oleh Dewan Moneter dan
pemerintah bertanggung jawab atasnya. Mengingat buruknya perekonomian pasca
perang, yang ditempuh pertama kali dalam bidang moneter adalah upaya perbaikan
posisi cadangan devisa melalui kegiatan ekspor dan impor. Pada periode ekonomi
terpimpin, pembiayaan deficit spending keuangan negara terus meningkat,
terutama untuk membiayai proyek politik pemerintah. Laju inflasi terus
membumbung tinggi sehingga dilakukan dua kali pengetatan moneter, yaitu tahun
1959 dan 1965. Lepas dari periode tersebut pemerintah memasuki masa pemulihan
ekonomi melalui program stabilisasi dan rehabilitasi yang kemudian diteruskan
dengan kebijakan deregulasi bidang keuangan dan moneter pada awal 1980-an. Di
tengah pasang surutnya kondisi perekonomian, lahirlah berbagai paket kebijakan
ekonomi yang bertujuan untuk memperkuat struktur perekonomian Indonesia.
Mulai pertengahan tahun 1997, krisis
ekonomi moneter menerpa Indonesia. Nilai tukar rupiah melemah, sistem
pembayaran terancam macet, dan banyak utang luar negeri yang tak terselesaikan.
Berbagai langkah ditempuh, mulai dari pengetatan moneter hingga beberapa
program pemulihan IMF yang diperoleh melalui beberapa Letter of Intent (LoI)
pada tahun 1998. Namun akhirnya masa suram dapat terlewati. Perekonomian
semakin membaik seiring dengan kondisi politik yang stabil pada masa reformasi.
Sejalan dengan itu, tahun 1999 merupakan tonggak bersejarah bagi Bank Indonesia
dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 23/1999 tentang Bank Indonesia
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 3/2004. Dalam undang-undang
ini, Bank Indonesia ditetapkan sebagai lembaga tinggi negara yang independen
dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Sesuai undang-undang tersebut, Bank
Indonesia diwajibkan untuk menetapkan target inflasi yang akan dicapai sebagai
landasan bagi perencanaan dan pengendalian moneter. Selain itu, utang luar
negeri berhasil dijadwalkan kembali dan kerjasama dengan IMF diakhiri melalui
Post Program Monitoring (PPM) pada 2004.
Perbankan
Saat kembali menjadi Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) pada tanggal 17 Agustus 1950, struktur ekonomi
Indonesia masih didominasi oleh struktur kolonial. Bank-bank asing masih
merajai kegiatan perbankan nasional, sementara peranan bank-bank nasional dalam
negeri masih terlampau kecil. Hingga masa menjelang lahirnya Bank Indonesia
pada tahun 1953, pengawasan dan pembinaan bank-bank belum terselenggara. De
Javasche Bank adalah bank asing pertama yang dinasionalisasi dan kemudian
menjelma menjadi BI sebagai bank sentral Indonesia. Beberapa tahun kemudian,
seiring dengan memanasnya hubungan RI-Belanda, dilakukan nasionalisasi atas
bank-bank milik Belanda. Berikutnya, sistem ekonomi terpimpin telah membawa
bank-bank pemerintah kepada sistem bank tunggal yang tidak bertahan lama. Orde
baru datang membawa perubahan dalam bidang perbankan dengan dikeluarkannya
Undang-Undang No. 14/1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan. Mulai saat itu, sistem
perbankan berada dalam kesatuan sistem dan kesatuan pimpinan, yaitu melalui
pengawasan dan pembinaan Bank Indonesia. Bank Indonesia dengan dukungan
pemerintah, dalam kurun waktu 1971-1972 melaksanakan kebijakan penertiban bank
swasta nasional dengan sasaran mengurangi jumlah bank swasta nasional, karena
jumlahnya terlalu banyak dan sebagian besar terdiri atas bank-bank kecil yang
sangat lemah dalam permodalan dan manajemen. Selain itu, Bank Indonesia juga
menyediakan dana yang cukup besar melalui Kredit Likuiditas Bank Indonesia
(KLBI) untuk program-program Kredit Investasi Kecil (KIK)/Kredit Modal Kerja
Permanen (KMKP), Kredit Investasi (KI), Kredit Mahasiswa Indonesia (KMI),
Kredit Koperasi (Kakop), Kredit Profesi Guru (KPG), dan sebagainya. Dengan
langkah ini, BI telah mengambil posisi sebagai penyedia dana terbesar dalam
pembangunan ekonomi di luar dana APBN.
Industri perbankan Indonesia telah menjadi
industri yang hampir seluruh aspek kegiatannya diatur oleh pemerintah dan BI.
Regulasi tersebut menyebabkan kurangnya inisiatif perbankan. Tahun 1983
merupakan titik awal BI memberikan kebebasan kepada bank-bank untuk menetapkan
suku bunga, baik kredit maupun tabungan dan deposito. Tujuannya adalah untuk
membangun sistem perbankan yang sehat, efisien, dan tangguh. Kebijakan
selanjutnya merupakan titik balik dari kebijakan pemerintah dalam penertiban
perbankan tahun 1971-1972 dengan dikeluarkannya Paket Kebijakan Deregulasi
Perbankan 1988 (Pakto 88), yaitu kemudahan pemberian ijin usaha bank baru, ijin
pembukaan kantor cabang, dan pendirian Bank Perkreditan Rakyat (BPR).
Pada periode selanjutnya, perbankan
nasional mulai menghadapi masalah meningkatnya kredit macet. Hal ini sejalan
dengan meningkatnya pemberian kredit oleh perbankan terutama untuk sektor
properti. Keadaan ekonomi mulai memanas dan tingkat inflasi mulai bergerak
naik.
Ketika krisis moneter 1997 melanda,
struktur perbankan Indonesia porak poranda. Pada tanggal 1 November 1997,
dikeluarkan kebijakan pemerintah yang melikuidasi 16 bank swasta. Hal ini
mengakibatkan kepanikan di masyarakat. Oleh karena itu, Bank Indonesia turun
mengatasi keadaan dengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) atas dasar
kebijakan yang ditetapkan pemerintah. Selain itu, berbagai tindakan
restrukturisasi dijalankan oleh Bank Indonesia bersama pemerintah.
Sistem Pembayaran
Sistem pembayaran di Indonesia terbagi
menjadi dua, yaitu sistem pembayaran tunai dan non tunai. Dalam Undang-Undang
(UU) No. 11/1953 ditetapkan bahwa Bank Indonesia (BI) hanya mengeluarkan uang
kertas dengan nilai lima rupiah ke atas, sedangkan pemerintah berwenang
mengeluarkan uang kertas dan uang logam dalam pecahan di bawah lima rupiah.
Uang kertas pertama yang dikeluarkan oleh BI adalah uang kertas bertanda tahun
1952 dalam tujuh pecahan. Selanjutnya, berdasarkan UU No. 13/1968, BI mempunyai
hak tunggal untuk mengeluarkan uang kertas dan uang logam sebagai alat
pembayaran yang sah dalam semua pecahan. Sejak saat itu, pemerintah tidak lagi
menerbitkan uang kertas dan uang logam. Uang logam pertama yang dikeluarkan
oleh BI adalah emisi tahun 1970. Pada era 1990-an, BI mengeluarkan uang dalam
pecahan besar, yaitu Rp 20.000 (1992), Rp 50.000 (1993), dan Rp 100.000 (1999).
Hal itu dilakukan guna memenuhi kebutuhan uang pecahan besar seiring dengan
perkembangan ekonomi yang tengah berlangsung saat itu.
Sementara itu, dalam bidang pembayaran non
tunai, BI telah memulai langkahnya dengan menetapkan diri sebagai kantor
perhitungan sentral menjelang akhir tahun 1954. Sebagai bank sentral, sejak
awal BI telah berupaya keras dalam pengawasan dan penyehatan sistem pembayaran
giral. BI juga terus berusaha untuk menyempurnakan berbagai sistem pembayaran
giral dalam negeri dan luar negeri. Pada periode 1980 sampai dengan 1990-an,
pertumbuhan ekonomi semakin membaik dan volume transaksi pembayaran non tunai
juga semakin meningkat. Oleh karena itu, BI mulai menggunakan sistem yang lebih
efektif dan canggih dalam penyelesaian transaksi pembayaran non tunai. Berbagai
sistem seperti Semi Otomasi Kliring Lokal (SOKL) dengan basis personal computer
dan Sistem Transfer Dana Antar Kantor Terotomasi dan Terintegrasi (SAKTI)
dengan sistem paperless transaction terus dikembangkan dan disempurnakan.
Akhirnya, BI berhasil menciptakan berbagai perangkat sistem elektronik seperti
BI-LINE, Sistem Kliring Elektronik Jakarta (SKEJ), Real Time Gross Settlement
(RTGS), Sistem Informasi Kliring Jarak Jauh (SIKJJ), kliring warkat antar
wilayah kerja (intercity clearing), dan Scriptless Securities Settlement System
(S4) yang semakin mempermudah pelaksanaan pembayaran non tunai di Indonesia.
Gubernur Bank Indonesia (1953 – sekarang)
Mr. Sjafruddin Prawiranegara Masa Jabatan : 1953 – 1958
Mr. Loekman Hakim Masa Jabatan : 1958 – 1959
Mr. Soetikno Slamet Masa Jabatan : 1959 – 1960
Mr. Soemarno Masa Jabatan : 1960 – 1963
T. Jusuf Muda Dalam Masa Jabatan : 1963 – 1966
Radius Prawiro Masa Jabatan : 1966 – 1973
Rachmat Saleh Masa Jabatan : 1973 – 1983
Arifin Siregar Masa Jabatan : 1983 – 1988
Adrianus Mooy Masa Jabatan : 1988 – 1993
J. Soedradjad Djiwandono Masa Jabatan : 1993 – 1998
Sjahril Sabirin Masa Jabatan : 1998 – 2003
Burhanuddin Abdullah Masa Jabatan : 2003 – sekarang
Mr. Sjafruddin Prawiranegara Masa Jabatan : 1953 – 1958
Mr. Loekman Hakim Masa Jabatan : 1958 – 1959
Mr. Soetikno Slamet Masa Jabatan : 1959 – 1960
Mr. Soemarno Masa Jabatan : 1960 – 1963
T. Jusuf Muda Dalam Masa Jabatan : 1963 – 1966
Radius Prawiro Masa Jabatan : 1966 – 1973
Rachmat Saleh Masa Jabatan : 1973 – 1983
Arifin Siregar Masa Jabatan : 1983 – 1988
Adrianus Mooy Masa Jabatan : 1988 – 1993
J. Soedradjad Djiwandono Masa Jabatan : 1993 – 1998
Sjahril Sabirin Masa Jabatan : 1998 – 2003
Burhanuddin Abdullah Masa Jabatan : 2003 – sekarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar