Senin, 17 Februari 2014

Teori Konflik Peran



Pengertian konflik peran

Konflik peran adalah kejadian yang simultan dari dua tekanan atau lebih seperti ketaatan pada satu hal akan membuat sulit atau tidak mungkin mentaati yang lainnya. Konflik peran menurut Khan, et al. (1964) dalam astuti (2004) adalah adanya ketidakcocokan antara, harapan-harapan yang berkaitan dengan suatu peran dimana dalam kondisi yang cukup ekstrim, kehadiran dua atau lebih harapan peran atau tekanan akan sangat bertolak belakang sehingga peran yang lain tidak dapat dijalankan.
Konflik peran timbul karena adanya dua perintah yang berbeda yang diterima secara berbarengan dan pelaksanaan salah satu perintah saja akan mengakibatkan terabaikannya perintah yang lain (Wolfe dan Snoke 1962) dalam Cahyono dan Ghozali (2002:140). Konflik peran mengacu pada munculnya ketidaksesuaian tekanan peran (Bamber, et al. 1989). Menurut Paden dan Buchler dalam repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/ 23714/3/Chapter%20II.pdf diakses tanggal 24-9-2013, merupakan konflik peran yang muncul antara harapan dari dua peran yang berbeda yang dimiliki oleh seseorang .
Faktor-faktor yang mempengaruhi konflik peran dapat mempengaruhi hubungan komitmen organisasi. Menurut Hogan, et al. (2000) dalam repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20617/3/Chapter%20II.pdf‎ diakses tanggal 24-9-2013, stres karena peran dan ketidakpastian dalam konteks pekerjaan akan menyebabkan ketidakpuasan kerja yang pada akhirnya akan meningkatkan ketegangan, mengurangi komitmen organisasi dan meningkatkan kecenderungan untuk pindah atau hengkang pada organisasi lainnya.
Dari definisi-definisi para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa konflik peran adalah konflik yang terjadi pada seseorang yang menjalankan kedua perannya secara bersamaan, sehingga tidak dapat terpenuhinya salah satu peran akibat pemenuhan peran yang lainnya.

2.2.1.  Tipe-tipe konflik peran
Menurut Katz, et al. (1978) dalam Winardi (2003:271) terdapat enam tipe konflik peran, yang menurut mereka relatif umum terlihat dan dijumpai pada berbagai organisasi, antara lain:
1.    Konflik intra pengirim (intrasender conflict)
Konflik ini timbul apabila seorang supervisor tunggal memberikan sejumlah tugas yang tidak sesuai satu sama lainnya (incompatible).
2.    Konflik antar pengirim (intersender conflict)
Konflik ini muncul apabila perintah-perintah atau ekspektasi-ekspektasi dari satu orang atau kelompok, berbenturan dengan ekspektasi atau perintah-perintah orang lain, atau kelompok-kelompok lain.
Contoh: Apabila atasan memerintahkan seorang supervisor untuk mempercepat produksi, dan para pekerja, menjelaskan bahwa setiap upaya untuk mengikuti perintah tersebut akan menyebabkan munculnya kesulitan-kesulitan.
3.    Konflik orang-peranan (person-role conflict)
Konflik ini timbul apabila tuntutan-tuntutan peranan dalam hal melaksanakan pekerjaan bertentangan dengan kebutuhan-kebutuhan atau nilai-nilai individu yang bersangkutan.
Contoh: seorang eksekutif yang diperintahkan untuk memberi uang suap kepada seorang pejabat tertentu, mungkin akan merasa bahwa tugas tersebut sangat tidak etikal. Tetapi, dilain pihak pertimbangan-pertimbangan karirnya menyebabkan-nya sulit untuk tidak melaksanakan perintah tersebut.
4.    Konflik yang timbul karena beban kerja yang berlebihan (in role overload conflict)
Dalam kondisi ini sang individu menghadapi perintah-perintah dan ekspektasi-ekspektasi dari sejumlah sumber yang tidak mungkin diselesaikannya dalam jangka waktu yang ditetapkan dan dalam batas-batas kualitas tertentu. Timbullah pertanyaan dalam dirinya: “apakah kiranya kualitas akan dikurbankan demi pertimbangan waktu?”. Apakah tugas-tugas tertentu dilaksanakan, sedangkan tugas lainnya diabaikan ? andaikata demikian halnya, tugas-tugas mana saja perlu diberi prioritas ? Dilema macam ini merupakan bagian konstan dari tugas seseorang manajer.
5.    Ambiguitas peranan (role ambiguity)
Keadaan demikian muncul apabila sang individu memperoleh informasi yang tidak lengkap atau tidak jelas tentang tanggung jawabnya. Maka sang individu tersebut tidak mengetahui dengan pasti apa yang seharusnya dilakukannya. Ambiguitas peranan seringkali dialami para manajer baru, yang diberi tugas dan tanggung jawab tertentu, tanpa mendapatkan informasi mengenai bagaimana seharusnya tugas-tugas tersebut perlu dilaksanakan.
6.    Konflik antar peranan (inter-role conflict)
Konflik ini muncul apabila berbagai macam peranan yang dijalankan oleh orang yang sama menyebabkan timbulnya tuntutan-tuntutan yang berbeda.
Hubungan antara pekerjaan dan keluarga misalnya telah menjadi sebuah sumber ketegangan yang makin meningkat, terutama pada keluarga-keluarga dengan dua macam karir. Para pekerja mau tidak mau harus memadukan peranan mereka sebagai manajer, sebagai orang tua,  dan sebagai suami atau istri. Masalah yang umumnya dihadapi adalah bahwa tuntutan pekerjaan menyebabkan individu-individu yang bekerja, kurang sekali waktu mereka untuk melaksanakan tanggung jawab keluarga mereka.

2.2.2.  Faktor yang mempengaruhi konflik peran
Menurut Sedarwanti (2007) dalam http://library.binus.ac.id/eColls /eThesi sd oc/Bab2/2011-2-01064-PS%20Bab2001.pdf diakses tanggal 24-9-2013, faktor-faktor yang mempengaruhi konflik peran adalah sebagai berikut :

1.    Masalah komunikasi
Hal ini diakibatkan salahnya pengertian yang berkenaan dengan kalimat, bahasa yang kurang atau sulit dimengerti atau informasi yang mendua dan tidak lengkap serta gaya individu yang tidak konsisten.
2.    Masalah struktur organisasi
Hal ini disebabkan karena adanya pertarungan kekuasaan antar departemen dengan kepentingan-kepentingan atau sistem penilaian yang bertentangan, persaingan untuk memperebutkan sumber daya- sumber daya yang terbatas atau saling ketergantungan dua atau lebih kelompok-kelompok kegiatan kerja untuk mencapai tujuan mereka.
3.    Masalah pribadi
Hal ini disebabkan karena tidak sesuai dengan tujuan atau nilai-nilai sosial pribadi pegawai dengan perilaku yang diperankan pada jabatan mereka dan perbedaan dalam nilai-nilai persepsi.
Menurut Stoner, et al. (1990) dalam Sunyoto (2012:73) faktor-faktor yang mempengaruhi konflik peran adalah sebagai berikut :
1.    Time pressure
Semakin banyak waktu yang digunakan untuk bekerja maka semakin sedikit waktu untuk keluarga.
2.    Family size dan support
Semakin banyak anggota keluarga maka semakin banyak konflik, dan semakin banyak dukungan keluarga maka semakin dikit konflik.
3.    Kepuasan kerja
Semakin tinggi kepuasan kerja maka konflik yang dirasakan semakin sedikit.

4.    Size of firm
Banyaknya pegawai dalam instansi mungkin saja mempengaruhi konflik peran seseorang.

2.2.3.  Dampak konflik peran
Konflik bisa jadi merupakan sumber energi dan kreativitas yang positif apabila dikelola dengan baik. Misalnya, konflik dapat menggerakkan suatu perubahan :
1.    Membantu setiap orang untuk saling memahami tentang perbedaan pekerjaan dan tanggung jawab mereka.
2.    Memberikan saluran baru untuk komunikasi.
3.    Menumbuhkan semangat baru pada staf.
4.    Memberikan kesempatan untuk menyalurkan emosi.
5.    Menghasilkan distribusi sumber tenaga  yang lebih merata  dalam organisasi.
Menurut Furman dan Mc Quaid (1992) dalam http://eprints.undip.ac.id/ 15347/1/AGUNG_HERY_NUGROHO.pdf diakses tanggal 24-9-2013, konflik memiliki banyak fungsi positif. Yang terpenting adalah bagaimana mengelola konflik yang timbul supaya tidak menimbulkan kerugian tapi justru membawa dampak konstruktif bagi individu atau kelompok yang terlibat. Konflik kelompok mendorong individu yang berada didalamnya untuk terlibat dan belajar mengenai proses pengambilan keputusan dalam kelompok dan belajar bertanggung jawab terhadap apa yang telah dilakukannya dan menyadari petunjuk dan bimbingan yang didapat dari orang lain.
Menurut Wall, et al. (1995) dalam Sunyoto (2012:74) pengaruh yang dapat ditimbulkan oleh adanya konflik terhadap individu atau kelompok dapat diklasifikasikan dalam beberapa hal, yaitu :
1.    Pengaruh terhadap individu
Pada level yang rendah dari intensitas perselisihan yang ada, konflik dapat mendorong seseorang untuk merasa lebih segar dan membangkitkan semangat. Namun pada level yang tinggi, individu yang sedang berkonflik dapat mengalami emosi, cemas dan stres.
2.    Pengaruh terhadap hubungan interpersonal
Bila seseorang dipandang merintangi tercapainya tujuan, maka ekspresi kemarahan, permusuhan dan emosi negatif lainnya dapat terpacu sebagai suatu persepsi yang bersifat negatif terhadap lawan konflik.
3.    Pengaruh terhadap komunikasi
Konflik sering kali memotivasi perselisihan ke isu-isu yang mengambang, untuk bersikap diam ataupun menghindari lawan konflik. Bila komunikasi tidak berjalan dengan baik maka kesalahpahaman, salah pengertian ataupun permusuhan akan mudah terjadi.
Pada dasarnya pengaruh yang ditimbulkan suatu konflik dapat berakibat konstruktif maupun destruktif pada individu yang terlibat. Hal yang terpenting adalah bagaimana mengelola konflik yang timbul tidak berakibat negatif tetapi justru membawa dampak yang konstruktif.

2.2.4.  Metode-metode Penyelesaian Konflik
     Ada lima metode untuk menangani konflik  (Suprihanto, 2003 dalam Sunyoto, 2012:76).
1.    Competition (Kompetisi)
Metode ini digunakan bila salah satu pihak berusaha untuk mencapai tujuannya  tanpa menghiraukan dampak terhadap pihak-pihak lain. Jadi metode ini menyajikan suatu perjuangan menang atau kalah kepada pihak-pihak yang berselisih. Biasanya bila konflik terjadi di dalam suatu organisasi atau kelompok yang formal maka pihak yang dominan (berkuasa) akan berusaha untuk menyelesaikan konflik dengan memanfaatkan kekuasaan yang ada di pihaknya.
2.    Avoidance (menghindari konflik)
Salah satu pihak yang berselisih menyadari bahwa konflik tersebut ada dan pihak ini menarik diri maupun berusaha menakan konflik dengan memaksanya tenggelam kebawah permukaan. Dengan metode ini dapat saja pihak-pihak yang berselisih mengambil keputusan untuk berpisah secara fisik. Tetapi jika perpisahan secara fisik tidak memungkinkan atau tidak diinginkan maka pihak-pihak tersebut akan berusaha untuk menekan konflik.
3.    Accomodation (akomodasi)
Metode ini dilakukan dengan cara salah satu pihak berusaha untuk mengalah, dalam artian memenuhi tuntutan pihak oposisinya. Jadi dalam rangka untuk memelihara hubungan, salah satu pihak bersedia untuk berkorban.
4.    Compromise (kompromi)
Jika pihak-pihak yang berselisih sama-sama bersedia berkorban, maka hasil kompromi akan tercapai. Dengan metode kompromi ini tidaklah jelas siapa yang menang dan yang kalah. Metode ini berusaha untuk menjelaskan konflik dengan menemukan dasar di tengah dari dua pihak yang beroposisi.
5.    Collaboration (kerja sama)
Pendekatan penyelesaian konflik yang satu ini berusaha untuk memberikan keuntungan kepada kedua belah pihak. Konflik bentuk ini diubah menjadi situasi pemecahan masalah bersama. Jadi pihak-pihak yang bertentangan bersama-sama mencoba memecahkan masalahnya dan bukan hanya mencoba menekan konflik atau berkompromi.
Mangkunegara (2008:156) mengatakan manajemen konflik dapat dilakukan dengan cara antara lain: pemecahan masalah (problem solving), tujuan tingkat tinggi (lipsordinate goal), perluasan sumber (expansion of resources), menghindari konflik (avoidance), melicinkan konflik (smoothing), kompromi (compromise), perintah dari wewenang (authoritative commands), mengubah variabel manusia (altering the humans variables), mengubah variabel struktural (altering the structural variables), mengidentifikasi musuh bersama (identifying a common enemy).

2.2.5.  Indikator konflik peran
Menurut Greenhaus dan Beutell (1985) dalam eprints.undip.ac.id/8113/1/ Ifah_Latifah.pdf‎ diakses tanggal 24-9-2013, konflik peran memiliki 3 indikator yaitu :
1.    Time based conflict
Time based conflict adalah konflik yang terjadi karena waktu yang digunakan untuk memenuhi satu peran tidak dapat digunakan untuk memenuhi peran lainnya, artinya pada saat yang bersamaan seorang yang mengalami konflik peran ganda tidak akan bisa melakukan dua peran atau lebih.
2.    Strain based conflict
Strain based conflict adalah ketegangan yang dihasilkan oleh salah satu peran membuat seseorang sulit untuk memenuhi tuntutan peran yang lain. Ketegangan yang ditimbulkan akan mempengaruhi kualitas hidup secara keseluruhan. Ketegangan peran ini termasuk stres, tekanan darah meningkat, kecemasan, cepat marah, dan sakit kepala.
3.    Behaviour based conflict
Behaviour based conflict adalah konflik yang muncul ketika suatu tingkah laku efektif untuk satu peran namun tidak efektif digunakan untuk peran yang lain. Ketidakefektifan tingkah laku ini dapat disebabkan oelh kurangnya kesadaran individu akan akibat dari tingkah lakunya kepada orang lain.
Menurut Wexley dan Yukl (2001) eprints.undip.ac.id/8113/1/Ifah_ Latifah.pdf‎ diakses tanggal 24-9-2013, terdapat 3 Indikator konflik peran yaitu :
1.    Peran
Peran adalah serangkaian perilaku yang diharapkan dari seseorang yang menduduki posisi tertentu dalam organisasi atau kelompok.
2.    Harapan peran
Harapan peran berasal dari tuntutan dari tugas atau pekerjaan itu sendiri dan uraian tugas, peraturan-peraturan dan standar.
3.    Kekacauan peran
Kekacauan peran dapat disebabkan baik oleh harapan-harapan peran yang tidak memadai maupun harapan-harapan yang tidak bersesuaian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar