Pengertian konflik peran
Konflik peran
adalah kejadian yang simultan dari dua tekanan atau lebih seperti ketaatan pada
satu hal akan membuat sulit atau tidak mungkin mentaati yang lainnya. Konflik peran menurut Khan, et al. (1964) dalam astuti (2004) adalah adanya ketidakcocokan antara,
harapan-harapan yang berkaitan dengan suatu peran dimana dalam kondisi yang
cukup ekstrim, kehadiran dua atau lebih harapan peran atau tekanan akan sangat
bertolak belakang sehingga peran yang lain tidak dapat dijalankan.
Konflik peran
timbul karena adanya dua perintah yang berbeda yang diterima secara berbarengan
dan pelaksanaan salah satu perintah saja akan mengakibatkan terabaikannya
perintah yang lain (Wolfe dan Snoke 1962) dalam Cahyono dan
Ghozali (2002:140). Konflik peran mengacu pada munculnya ketidaksesuaian
tekanan peran (Bamber, et
al. 1989). Menurut Paden dan Buchler dalam repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/
23714/3/Chapter%20II.pdf diakses tanggal 24-9-2013, merupakan
konflik peran yang muncul antara harapan dari dua peran yang berbeda yang
dimiliki oleh seseorang .
Faktor-faktor
yang mempengaruhi konflik peran dapat mempengaruhi hubungan komitmen
organisasi. Menurut Hogan, et al.
(2000) dalam
repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20617/3/Chapter%20II.pdf diakses tanggal 24-9-2013, stres
karena peran dan ketidakpastian dalam konteks pekerjaan akan menyebabkan
ketidakpuasan kerja yang pada akhirnya akan meningkatkan ketegangan, mengurangi
komitmen organisasi dan meningkatkan kecenderungan untuk pindah atau hengkang
pada organisasi lainnya.
Dari
definisi-definisi para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa
konflik peran adalah konflik yang terjadi pada seseorang yang menjalankan kedua
perannya secara bersamaan, sehingga tidak dapat terpenuhinya salah satu peran
akibat pemenuhan peran yang lainnya.
2.2.1.
Tipe-tipe konflik
peran
Menurut Katz, et al. (1978) dalam
Winardi (2003:271) terdapat enam tipe konflik peran, yang menurut mereka
relatif umum terlihat dan dijumpai pada berbagai organisasi, antara lain:
1.
Konflik intra pengirim (intrasender
conflict)
Konflik ini timbul apabila seorang supervisor tunggal memberikan
sejumlah tugas yang tidak sesuai satu sama lainnya (incompatible).
2.
Konflik antar pengirim (intersender
conflict)
Konflik ini muncul apabila perintah-perintah atau
ekspektasi-ekspektasi dari satu orang atau kelompok, berbenturan dengan
ekspektasi atau perintah-perintah orang lain, atau kelompok-kelompok lain.
Contoh: Apabila atasan memerintahkan seorang supervisor untuk
mempercepat produksi, dan para pekerja, menjelaskan bahwa setiap upaya untuk
mengikuti perintah tersebut akan menyebabkan munculnya kesulitan-kesulitan.
3.
Konflik orang-peranan (person-role
conflict)
Konflik ini timbul apabila tuntutan-tuntutan peranan dalam hal
melaksanakan pekerjaan bertentangan dengan kebutuhan-kebutuhan atau nilai-nilai
individu yang bersangkutan.
Contoh: seorang eksekutif yang diperintahkan untuk memberi uang
suap kepada seorang pejabat tertentu, mungkin akan merasa bahwa tugas tersebut
sangat tidak etikal. Tetapi, dilain pihak pertimbangan-pertimbangan karirnya
menyebabkan-nya sulit untuk tidak melaksanakan perintah tersebut.
4.
Konflik yang timbul karena beban kerja yang berlebihan (in role overload conflict)
Dalam kondisi ini sang individu menghadapi perintah-perintah dan ekspektasi-ekspektasi
dari sejumlah sumber yang tidak mungkin diselesaikannya dalam jangka waktu yang
ditetapkan dan dalam batas-batas kualitas tertentu. Timbullah pertanyaan dalam
dirinya: “apakah kiranya kualitas akan dikurbankan demi pertimbangan waktu?”.
Apakah tugas-tugas tertentu dilaksanakan, sedangkan tugas lainnya diabaikan ?
andaikata demikian halnya, tugas-tugas mana saja perlu diberi prioritas ?
Dilema macam ini merupakan bagian konstan dari tugas seseorang manajer.
5.
Ambiguitas peranan (role
ambiguity)
Keadaan demikian muncul apabila sang individu memperoleh informasi
yang tidak lengkap atau tidak jelas tentang tanggung jawabnya. Maka sang
individu tersebut tidak mengetahui dengan pasti apa yang seharusnya
dilakukannya. Ambiguitas peranan seringkali dialami para manajer baru, yang
diberi tugas dan tanggung jawab tertentu, tanpa mendapatkan informasi mengenai
bagaimana seharusnya tugas-tugas tersebut perlu dilaksanakan.
6.
Konflik antar peranan (inter-role
conflict)
Konflik ini muncul apabila berbagai macam peranan yang dijalankan
oleh orang yang sama menyebabkan timbulnya tuntutan-tuntutan yang berbeda.
Hubungan antara pekerjaan dan keluarga misalnya telah menjadi
sebuah sumber ketegangan yang makin meningkat, terutama pada keluarga-keluarga
dengan dua macam karir. Para pekerja mau tidak mau harus memadukan peranan
mereka sebagai manajer, sebagai orang tua,
dan sebagai suami atau istri. Masalah yang umumnya dihadapi adalah bahwa
tuntutan pekerjaan menyebabkan individu-individu yang bekerja, kurang sekali
waktu mereka untuk melaksanakan tanggung jawab keluarga mereka.
2.2.2. Faktor yang mempengaruhi konflik peran
Menurut Sedarwanti
(2007) dalam http://library.binus.ac.id/eColls /eThesi sd
oc/Bab2/2011-2-01064-PS%20Bab2001.pdf diakses tanggal 24-9-2013, faktor-faktor yang mempengaruhi konflik peran
adalah sebagai berikut :
1.
Masalah komunikasi
Hal
ini diakibatkan salahnya pengertian yang berkenaan dengan kalimat, bahasa yang
kurang atau sulit dimengerti atau informasi yang mendua dan tidak lengkap serta
gaya individu yang tidak konsisten.
2.
Masalah struktur organisasi
Hal ini disebabkan
karena adanya pertarungan kekuasaan antar departemen dengan
kepentingan-kepentingan atau sistem penilaian yang bertentangan, persaingan
untuk memperebutkan sumber daya- sumber daya yang terbatas atau saling
ketergantungan dua atau lebih kelompok-kelompok kegiatan kerja untuk mencapai
tujuan mereka.
3.
Masalah pribadi
Hal ini disebabkan
karena tidak sesuai dengan tujuan atau nilai-nilai sosial pribadi pegawai
dengan perilaku yang diperankan pada jabatan mereka dan perbedaan dalam
nilai-nilai persepsi.
Menurut Stoner,
et al. (1990) dalam Sunyoto (2012:73) faktor-faktor yang mempengaruhi konflik
peran adalah sebagai berikut :
1. Time pressure
Semakin banyak waktu
yang digunakan untuk bekerja maka semakin sedikit waktu untuk keluarga.
2.
Family
size dan support
Semakin banyak
anggota keluarga maka semakin banyak konflik, dan semakin banyak dukungan keluarga
maka semakin dikit konflik.
3.
Kepuasan kerja
Semakin tinggi
kepuasan kerja maka konflik yang dirasakan semakin sedikit.
4. Size of firm
Banyaknya pegawai
dalam instansi
mungkin saja mempengaruhi konflik peran seseorang.
2.2.3. Dampak konflik peran
Konflik bisa jadi merupakan sumber energi dan kreativitas yang
positif apabila dikelola dengan baik. Misalnya, konflik dapat menggerakkan
suatu perubahan :
1.
Membantu setiap orang
untuk saling memahami tentang perbedaan pekerjaan dan tanggung jawab mereka.
2.
Memberikan saluran baru
untuk komunikasi.
3.
Menumbuhkan semangat
baru pada staf.
4.
Memberikan kesempatan
untuk menyalurkan emosi.
5.
Menghasilkan distribusi
sumber tenaga yang lebih merata dalam organisasi.
Menurut Furman dan Mc
Quaid (1992)
dalam http://eprints.undip.ac.id/ 15347/1/AGUNG_HERY_NUGROHO.pdf
diakses tanggal 24-9-2013,
konflik memiliki banyak
fungsi positif. Yang terpenting adalah bagaimana mengelola konflik yang timbul supaya
tidak menimbulkan kerugian tapi justru membawa dampak konstruktif bagi individu
atau kelompok yang terlibat. Konflik kelompok mendorong individu yang berada
didalamnya untuk terlibat dan belajar mengenai proses pengambilan keputusan
dalam kelompok dan belajar bertanggung jawab terhadap apa yang telah
dilakukannya dan menyadari petunjuk dan bimbingan yang didapat dari orang lain.
Menurut Wall, et al. (1995) dalam Sunyoto (2012:74) pengaruh yang dapat ditimbulkan oleh
adanya konflik terhadap individu atau kelompok dapat diklasifikasikan dalam
beberapa hal, yaitu :
1. Pengaruh terhadap individu
Pada
level yang rendah dari intensitas perselisihan yang ada, konflik dapat
mendorong seseorang untuk merasa lebih segar dan membangkitkan semangat. Namun
pada level yang tinggi, individu yang sedang berkonflik dapat mengalami emosi,
cemas dan stres.
2. Pengaruh terhadap hubungan interpersonal
Bila
seseorang dipandang merintangi tercapainya tujuan, maka ekspresi kemarahan,
permusuhan dan emosi negatif lainnya dapat terpacu sebagai suatu persepsi yang
bersifat negatif terhadap lawan konflik.
3. Pengaruh terhadap komunikasi
Konflik
sering kali memotivasi perselisihan ke isu-isu yang mengambang, untuk bersikap
diam ataupun menghindari lawan konflik. Bila komunikasi tidak berjalan dengan
baik maka kesalahpahaman, salah pengertian ataupun permusuhan akan mudah
terjadi.
Pada dasarnya pengaruh yang ditimbulkan
suatu konflik dapat berakibat konstruktif maupun destruktif pada individu yang
terlibat. Hal yang terpenting adalah bagaimana mengelola konflik yang timbul
tidak berakibat negatif tetapi justru membawa dampak yang konstruktif.
2.2.4.
Metode-metode Penyelesaian Konflik
Ada lima metode untuk menangani konflik (Suprihanto, 2003 dalam Sunyoto, 2012:76).
1.
Competition (Kompetisi)
Metode ini digunakan bila
salah satu pihak berusaha untuk mencapai tujuannya tanpa menghiraukan dampak terhadap pihak-pihak
lain. Jadi metode ini menyajikan suatu perjuangan menang atau kalah kepada
pihak-pihak yang berselisih. Biasanya bila konflik terjadi di dalam suatu organisasi
atau kelompok yang formal maka pihak yang dominan (berkuasa) akan berusaha
untuk menyelesaikan konflik dengan memanfaatkan kekuasaan yang ada di pihaknya.
2.
Avoidance (menghindari konflik)
Salah satu pihak yang
berselisih menyadari bahwa konflik tersebut ada dan pihak ini menarik diri
maupun berusaha menakan konflik dengan memaksanya tenggelam kebawah permukaan.
Dengan metode ini dapat saja pihak-pihak yang berselisih mengambil keputusan
untuk berpisah secara fisik. Tetapi jika perpisahan secara fisik tidak
memungkinkan atau tidak diinginkan maka pihak-pihak tersebut akan berusaha
untuk menekan konflik.
3.
Accomodation (akomodasi)
Metode ini dilakukan
dengan cara salah satu pihak berusaha untuk mengalah, dalam artian memenuhi
tuntutan pihak oposisinya. Jadi dalam rangka untuk memelihara hubungan, salah
satu pihak bersedia untuk berkorban.
4.
Compromise (kompromi)
Jika pihak-pihak yang berselisih sama-sama bersedia berkorban,
maka hasil kompromi akan tercapai. Dengan metode kompromi ini tidaklah jelas
siapa yang menang dan yang kalah. Metode ini berusaha untuk menjelaskan konflik
dengan menemukan dasar di tengah dari dua pihak yang beroposisi.
5.
Collaboration (kerja sama)
Pendekatan penyelesaian konflik yang satu ini berusaha untuk
memberikan keuntungan kepada kedua belah pihak. Konflik bentuk ini diubah
menjadi situasi pemecahan masalah bersama. Jadi pihak-pihak yang bertentangan
bersama-sama mencoba memecahkan masalahnya dan bukan hanya mencoba menekan
konflik atau berkompromi.
Mangkunegara (2008:156)
mengatakan manajemen konflik dapat dilakukan dengan cara antara lain: pemecahan
masalah (problem solving), tujuan
tingkat tinggi (lipsordinate goal),
perluasan sumber (expansion of resources),
menghindari konflik (avoidance),
melicinkan konflik (smoothing),
kompromi (compromise), perintah dari
wewenang (authoritative commands),
mengubah variabel manusia (altering the
humans variables), mengubah variabel struktural (altering the structural variables), mengidentifikasi musuh bersama
(identifying a common enemy).
2.2.5. Indikator konflik peran
Menurut
Greenhaus dan Beutell (1985) dalam eprints.undip.ac.id/8113/1/
Ifah_Latifah.pdf diakses tanggal
24-9-2013, konflik peran memiliki 3 indikator yaitu :
1.
Time
based conflict
Time based conflict
adalah konflik yang terjadi karena waktu yang digunakan untuk memenuhi satu
peran tidak dapat digunakan untuk memenuhi peran lainnya, artinya pada saat
yang bersamaan seorang yang mengalami konflik peran ganda tidak akan bisa
melakukan dua peran atau lebih.
2.
Strain
based conflict
Strain based conflict
adalah ketegangan yang dihasilkan oleh salah satu
peran membuat seseorang sulit untuk memenuhi tuntutan peran yang lain.
Ketegangan yang ditimbulkan akan mempengaruhi kualitas hidup secara
keseluruhan. Ketegangan peran ini termasuk stres, tekanan darah meningkat,
kecemasan, cepat marah, dan sakit kepala.
3. Behaviour based conflict
Behaviour
based conflict adalah konflik yang muncul ketika suatu
tingkah laku efektif untuk satu peran namun tidak efektif digunakan untuk peran
yang lain. Ketidakefektifan tingkah laku ini dapat disebabkan oelh kurangnya
kesadaran individu akan akibat dari tingkah lakunya kepada orang lain.
Menurut
Wexley
dan Yukl (2001) eprints.undip.ac.id/8113/1/Ifah_ Latifah.pdf diakses tanggal 24-9-2013,
terdapat 3 Indikator konflik peran yaitu :
1. Peran
Peran adalah serangkaian perilaku yang
diharapkan dari seseorang yang menduduki posisi tertentu dalam organisasi atau
kelompok.
2. Harapan
peran
Harapan peran berasal dari tuntutan dari
tugas atau pekerjaan itu sendiri dan uraian tugas, peraturan-peraturan dan
standar.
3. Kekacauan
peran
Kekacauan peran dapat disebabkan baik oleh
harapan-harapan peran yang tidak memadai maupun harapan-harapan yang tidak
bersesuaian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar